Jumat, 28 Juni 2013

Salah Kaprah Penggunaan kata "Tourism"

Jumat, 28 Juni 2013 | 01:57 WIB Redaksi: Unknown

Pict By Google


Pariwisata merupakan sebuah bidang (industri) yang memiliki cakupan sangat luas, banyak di pengaruhi berbagai faktor dan memiliki efek masiv bagi segala sendi kehidupan.
Tak bisa di pungkiri kegiatan pariwisata menjadi trend pada saat ini. Jumlah wisatawan, Industri penyedia jasa, obyek wisata baru terus meningkat. Hal ini di pengaruhi oleh berbagai faktor seperti alur informasi semakin mudah, tingkat stres yang di pengaruhi oleh tekanan kerja khususnya di negara maju, regulasi dan lain sebagainya.
Baru-baru ini mulai bermuncul istilah-istilah di pariwisata. Seperti art tourism, dark tourism,  disaster tourism, poorism dan berbagai istilah baru lainnya. Muncul pertanyaan disini apakah semua kegiatan yang memiliki nilai estetika bisa di katakan sebagai kegiatan pariwisata ?
Apabila di kaji pemaknaan pariwisata atau tourism secara umum adalah berbagai kegiatan wisata dan di dukung berbagai fasilitas serta layanan yang di sediakan oleh masyarakat, pengusaha dan pemerintah[1]. Dengan penjabaran konsepsi pariwisata tersebut memang ada semacam pergeseran makna apabila meilihat istilah pariwisata saat ini.
Kesan pencaplokan istilah pariwisata atau tourism terlihat jelas dalam beberapa contoh yang di sebutkan di atas tadi. Sebagai contoh bagaimana artourism bagaimana kegiatan ini menampikan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan seni. Tentu tidak ada bedanya apabila pertunjukan seni seperti sendra tari ramayana, pameran lukisan dan kegiatan seni lainnya. Penggunaan kata tourism disini menggambarkan bahwa ada nilai berbeda dengan pertunjukan seni, tapi pada faktanya tidak menjukan hal tersebut. Selain itu seni pertunjukan merupakan atraksi wisata yang sudah termasuk dalam obyek wisata.
Menarik lagi bila membicarakan poorism atau disaster tourism dimana atraksi utamanya adalah kemiskinan dan bencana. Apakah kemiskinan dan bencana menjadi “benda estetika” yang bisa di jual kepada wisatawan ? sedangkan di pariwisata aspek sosial budaya merupakan salah satu syarat kelayakan suatau atraksi atau bahkan destinasi budaya. Dengan mempertimbangakan aspek sosial budaya tentu pariwisata juga harus “memanusiakan manusia”. Sedangkan dua kegiatan pariwsata di atas tidak menunjukan bahkan terkesanan kontradiktif dengan prinsip pariwisata.
Bahkan kasus terbaru salah kaprah pengelolaan pariwisata muncul di permukaan saat “tragedi” Waisak Muncul, kegiatan keagamaan ini di manfaatkan oleh para penyedia jasa untuk membuka lahan bisnis pariwisata dadakan yaitu menjual paket wisata Waisak.
Bisa di tarik kesimpulan bahwa pariwisata harus memiliki konsepsi yang jelas dan memiliki batasan untuk mengindari pemanfaatan dari sebuah gejala sosial maupun alam untuk menghindari pihak-pihak yang dirugikan.


_______________________
[1] Ismayanti, Penantar Pariwisata (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2010) h.3

sumber : Repost Blog Penulis

0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

 
Copyright © 2013. Kitakemana.net - First Blog Portal and Travel News in Indonesia
Website Created by #gembelpacker
Powered by Blogger